FeaturedFrameHeadlineMitra Polisi

Surat cinta untuk jenius Nono, jenius math dari NTT, dan Rusia Catatan Wawan Setiawan

Polda Jateng – Tribratanews.jateng.polri.go.id | Baru baru ini kita digemparkan oleh prestasi anak Indonesia, bernama Caesar Archangels Hendrik Meo Tnunay, yang memenangkan lomba math dengan mengalahkan 7000 anak lainnya. Saya mencoba melihat video-nya di Youtube, dan memang benar bahwasanya Nono, bisa melakukan operasi perhitungan mathematika dengan sangat cepat sekali.

Namun, saya pernah mencoba mempelajari tentang Russian math, methodologi belajar Mathematika di era Uni Soviet sampai sekarang. Mathematika di Russia, kembali direkonsep pembelajarannya oleh Lev Vygotsky. Pendidikan mathematika di Indonesia saya lihat masih banyak yang menggunakan konsep “Rote Learning”. Apakah rote learning? Rote learning adalah pembelajaran yang bersifat menghapal, dan sangat cepat. Kelemahan pendidikan berbasis rote learning adalah kurang adanya pendalaman terhadap sebuah materi pendidikan. Di sisi lain, kita mengenal dengan adanya “meaningful learning”. Meaningful learning tak terlepas dari cara pendidikan yang mengutamakan pemahaman yang sangat mendalam. Cirinya agak lambat, tapi mendalam.

Mathematika, merupakan salah satu ilmu dasar dan fundamental. Belajar mathematika umumnya bisa mengasah logika, nalar, reasoning, problem solving dan creativity. Namun pengajaran seperti ini bertolak belakang dengan konsep pengajaran berbasis rote learning yang cenderung menghapal/memorized. Pembelajaran math, di Russia diajarkan melalui konsep yang melatih kemampuan kognisi anak, kemampuan berpikir/menalar, dan juga reasoning. Jenius mathematika dari Russia abad ini, yaitu Grigory Perelman, dianggap jenius bukanlah karena kecepatannya didalam menghitung, namun kemampuannya untuk melakukan problem solving. Perelman berhasil memecahkan/problem solving soal konjektur paling terkenal yang diajukan oleh Henri Poincare. seorang mathematikawan asal prancis.

Untuk itu, mungkin dunia pendidikan terutama yg berbasis STEM mungkin perlu untuk meninjau ulang konsep konsep pengajaran di Indonesia terutama pengajaran STEM. Saat ini, pengukuran kemampuan STEM pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Indonesia meraih peringkat ke 63 untuk math, dan peringkat 62 untuk penguasaan science dari 70 negara yang di survey. Melihat fakta ini, kiranya mungkin perlu ada revolusi pendidikan di Indonesia, yang mempunyai visi dan misi mencetak manusia yang cerdas, dan yang menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan.

Hal ini sangat kontradiktif dengan pendidikan di Uni Soviet dahulu, Uni Soviet pernah menjadi negara dengan pendidikan terbaik versi pengukuran dari OECD. Uni Soviet atau Rusia juga telah melahirkan banyak sekali ilmuwan nobel, misalnya Andrei Sakharov, Lev Landau, dan masih banyak yang lainnya. Pendidikan di Uni Soviet, yang sekarang diwariskan terhadap Rusia, memang unik. Pendidikan math sangat fundamental, anak tidak bisa lulus apabila nilai mathnya jelek. Selain itu, math tetap akan diajarkan di awal awal pendidikan tinggi universitas, bahkan studi tata boga/memasak masih diajarkan math di era semester awal.

Majunya pendidikan di Russia modern sekarang, tidak terlepas dari founding fathernya, yaitu Vladimir Lenin. Lenin memang seorang politikus, namun Lenin menguasai math dan science termodern di masanya, yaitu Newtonian Mekanik. Hal ini tidak bisa dijiplak begitu saja, karena dunia science akan terus berkembang dan ber-revolusi. Mekanika Kuantum adalah bukti salah satu revolusi mendasar di bidang fisika yang berkonsekuensi pandangan kita terhadap alam raya juga berubah.

Kembali ke masalah anak jenius dari NTT, semoga dunia pendidikan di Indonesia bisa mengasah kemampuan dan bakatnya, yaitu bidang math, namun menguasai math tidak hanya cukup bermodalkan kecepatan menghitung saja, namun harus juga ada faktor fundamental, yaitu creativity problem solving. Menguasai math, juga sangat dibutuhkan untuk membuat algoritma algortitma baru terutama untuk bidang AI, dan teknologi lainnya, misal keamanan dan kompresi data. Secara singkat, saya ingin menyampaikan bahwa menguasai math memang penting, namun bukan untuk kecepatan berhitung, tapi lebih ke reasoning, logic, kreativitas dan problem solving. Adapun masalah kecepatan berhitung, manusia akan selalu kalah terhadap komputer sampai kuantum komputer yang sangat sangat cepat. Untuk itu kita memerlukan rethinking, apa definisi dari “jenius math”, kecepatan ataukah pemahaman sampai dengan kreativitas problem solving atau inovasi algoritma/rumus baru?

Berita Terkait