Covid-19

Catatan Eko Rahmad ZaZg : Perlukah Pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar ?

tribratanews.jateng.polri.go.id/ – Belakangan ini pemberitaan nasional masih diramaikan oleh aksi sebuah organisasi kemasyarakatan yang cukup terkenal karena aksi pengerahan massanya. Ya. Front Pembela Islam yang lebih dikenal sebagai FPI. Setelah menyita perhatian masyarakat karena sepak terjangnya dalam menginisiasi aksi bela Islam yang menuntut proses hukum terhadap salah satu calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama, ormas pimpinan Rizieq Sihab ini kembali membuat heboh dengan melakukan unjuk rasa di Mabes Polri untuk menuntut Kapolri guna mencopot Kapolda Metro Jaya Irjend. Pol. M. Iriawan dan Kapolda Jabar Irjend. Pol. Anton Charliyan.

Alasannya, Kapolda Metro Jaya dituding memberikan perintah untuk menembak pengunjuk rasa pada saat kegiatan aksi bela Islam. Meski dengan PELURU KARET dan GAS AIR MATA. Sedangkan Kapolda Jabar dituduhkan melakukan pembiaran saat terjadi aksi pengeroyokan oleh Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) kepada anggota FPI. Hal ini dibumbui pula dengan jabatan Kapolda Jabar yang juga merupakan salah satu pembina ormas GMBI tersebut.

Mungkin mereka menilai, apa yang dilakukan kedua Kapolda tersebut ibarat peribahasa “Karena Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga”. Akantetapi, perlu kita pertimbangkan, apakah “Nila” yang dimaksud itu seperti racun ataukah bumbu yang hanya memberikan perbedaan warna pada susu tanpa membahayakan peminumnya. Hal itu setidaknya perlu beberapa pertimbangan yang harus publik ketahui.

Pertama Kapolda Metro Jaya. Tudingan bahwa dirinya memberikan perintah untuk menembakkan peluru karet dan gas air mata kepada massa, memberikan provokasi hingga akhirnya memicu bentrok. Benarkah? Kita perlu melongok lagi kejadian 411. Terutama saat situasi mulai tidak terkendali. Pasca Sholat Maghrib atau lebih dari pukul 18.30 Wib. Pada jam tersebut, sesuai dengan aturan yang termaktub dalam Perkap Kapolri Nomor 7 tahun2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum, untuk aksi di tempat terbuka batas waktu yang diperbolehkan adalah dari jam 06.00 sampai dengan 18.00 waktu setempat. Setelah waktu itu, maka Polisi sebagai penanggungjawab keamanan, berhak untuk melakukan pembubaran.

Dan sepertinya upaya yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya, dalam hal ini dibawah pimpinan Irjend. Pol. M. Iriawan, sudah sesuai prosedur. Pembubaran hanya menggunakan gas air mata. Penggunaan peluru karetpun sebenarnya juga dibenarkan baik menurut undang-undang maupun Perkap nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Terlebih jika melihat dampak dan jumlah massa yang sedemikian banyak. Jika tidak dibubarkan, dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang lebih besar. Polisi bahkan justru terlihat baik hati. Dengan “merelakan” tiga buah mobil dinasnya dibakar massa. Dan sampai saat inipun, kita belum mendengar Polisi mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara unjuk rasa. Atau melakukan proses hukum terhadap massa yang melakukan pembakaran mobil.

Apakah ini belum termasuk kemurahan hati Kapolda Metro Jaya guna menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan. Baik antara Polri dengan Pengunjuk rasa atau dengan unsur masyarakat lainnya. Kemurahan hati Kapolda Metro Jaya dibuktikan lagi dengan tetap mengijinkan digelarnya aksi 212. Padahal bisa saja Kapolda menolak memberikan ijin ataupun rekomendasi kepada Mabes Polri untuk pelaksanaan aksi tersebut mengingat kejadian yang ada pada aksi 411. Dan berkat campur tangan Kapolri serta stakeholder lain, aksi 212 berlangsung tanpa menghadirkan ekses yang berarti.

Apakah hal ini belum memberikan bukti bahwa kinerja Kapolda Metro Jaya (diluar apa yang dilakukan Kapolri dan para stakeholder lain) sangat luar biasa. Jangan lupakan pula hasil ungkap kasus yang terbilang mustahil. Kurang dari 36 jam mengungkap kasus perampokan sadis di Pulomas. Pantaskah tuntutan mundur itu jika mengetahui bahwa terdapat jauh lebih banyak keberhasilan kinerja Kapolda Metro Jaya yang lain?

Kedua adalah permasalahan yang membelit Kapolda Jabar berkaitan kedudukannya sebagai pembina ormas GMBI. Yang kemudian beberapa oknumnya ditengarai melakukan penganiayaan terhadap anggota FPI.

Kita perlu mengkaji bahwa sepertinya sudah menjadi kewajaran jika pejabat utamanya pemerintahan, TNI maupun Polri termasuk dalam susunan organisasi sebuah ormas. Terlebih sebagai seorang pembina ataupun penasehat. Karena sebenarnya, posisi ini tidak menjadikan pejabat dimaksud menjadi bagian nyata dari ormas tersebut. Fungsinya lebih untuk melakukan pengawasan dan memberikan pertimbangan kepada pengurus agar tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dasar yaitu Pancasila dan UUD 1945. Apakah kemudian Kapolda Jabar yang pastinya tidak mengetahui secara langsung setiap anggota ormas yang dibinanya melakukan tindak pidana, malah justru yang disalahkan karena dianggap melakukan pembiaran ?

Jika memang iya, bukankah Rizieq Sihab juga harus dituntut mundur karena sebagai Imam Besar telah membiarkan anak(-anak) buahnya melakukan aksi balasan kepada markas GMBI timbang melaporkan kasus penganiayaannya ke Polisi. Bukankah kedudukan seorang Imam Besar harusnya lebih dekat dengan anggotanya daripada seorang Pembina sebuah ormas yang tidak secara langsung terlibat.

Ketika kita melihat kinerja Irjend. Pol Anton Charliyan di Jawa Barat, mungkin memang belum menonjol. Wajar saja karena masa jabatannya yang baru sebentar. Namun melihat semangatnya dalam mewujudkan keamanan di Jawa Barat cukup diacungi jempol. Irjend. Pol. Anton Charliyan bahkan pernah memberikan statement yang cukup pedas utamanya kepada kelompok yang tidak memberikan toleransi kepada kelompok lain. “Bagi masyarakat yang Intoleran, silahkan keluar dari bumi pasundan”. Pernyataan ini selayaknya sebuah terompet perang melawan aksi radikalisme yang jelas mengusik keamanan dan ketertiban masyarakat.

Saat kita melihat lebih jauh lagi. Bagaimana anggota Polda Sulawesi Selatan, tempat sebelumnya Irjend. Pol. Anton Charliyan menjabat sebagai Kapolda, yang menangisi kepergian pimpinan mereka saat acara serah terima jabatan. Jika bahkan anggotanya sendiri sampai berlinang air mata, mungkin berat melepaskan pimpinannya, bisa dikatakan bahwa kinerjanya di mata anak buahnya cukup baik. Promosinya menjadi Kapolda Jabar lebih jelas menggambarkannya.

Belum lagi jika melihat sosok Jendral yang aktif di sosial media Instagram ini. Sosok yang penyayang, ceria, tegas dan merakyat ini tergambar jelas. Bagaimana dirinya dengan ringan membantu korban kecelakaan di jalan. Demikian pula dengan caranya menghormati orang tua yang juga terlihat dari beberapa postingnya bersama sang Ibunda. Ditambah candaannya yang terdengar sedikit kaku namun lucu di beberapa quotesnya. Apakah sosok seperti ini masih dianggap tidak pantas memimpin Polda Jabar?

Kembali merenungkan makna peribahasa “karena nila setitik rusak susu sebelanga” tadi. Mungkin dapat menggambarkan bagaimana “nila” yang terjatuh di susu tersebut. Seperti hanya pewarna makanan yang justru menambah keindahan susu. Dan susupun tetap layak diminum atau bahkan lebih menarik orang untuk meminumnya. Tidaklah sepantasnya karena sebuah kesalahan kecil, maka kita melupakan prestasi yang jauh lebih besar, hanya karena faktor tidak suka.

Dan yang lebih perlu menjadi perenungan. Teori terjadinya kejahatan adalah di tempat dimana konsekuensi hukumnya lebih ringan. Dan Polisi sebagai seorang pembasmi kejahatan, tentunya akan dibenci oleh setiap pelaku kejahatan. Karena, secara logika saja, dimana penegak hukumnya tegas, penjahat pasti kesulitan. Dan langkah termudah untuk menjatuhkannya adalah dengan menggunakan kesalahan, dimana setiap orang pasti memilikinya. Karena meskipun mereka Kapolda, dengan 2 bintang di pundaknya, mereka juga manusia.

Tetap semangat Irjend. Pol. M. Iriawan dan Irjend. Pol. Anton Charliyan. Kami masyarakat Indonesia akan senantiasa mendukung semua usahamu dalam mewujudkan Indonesia yang lebih aman, lebih toleran dan tentunya lebih nyaman untuk dihuni semua etnis maupun golongan.

Berita Terkait